Pengamat energi ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai tingginya harga gas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk ke industri disebabkan peran PGN yang ganda yaitu sebagai "transporter" sekaligus "trader" gas. Posisi PGN ini bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.
"Pemerintah harus mereposisi PGN hanya fokus sebagai 'transporter' gas," katanya di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012.
Seperti tercantum dalam pasal 19 Permen ESDM 19/2009 menyebutkan badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki atau dikuasainya.
Dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimilikinya, maka wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga gas bumi melalui pipa.
Ia menjelaskan posisi PGN saat ini tidak konsisten dengan UU Migas yang mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir. Meski PGN tidak bergerak di hulu, namun dengan beli atau 'kulakan' gas lantas dijual lagi, sudah mendekati praktek merangkap dari hulu hingga hilir.
"Saat ini, PGN mengalirkan gas miliknya melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat (South Sumatra-West Java) yang juga dikuasainya. Ini melanggar Permen ESDM tersebut karena PGN seharusnya sebagai transporter hanya mengutip ongkos angkut (toll fee) gas milik KKKS kepada konsumen," katanya.
Hal ini, lanjutnya, berdampak negatif baik di hulu migas dan industri. Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah mereposisi bisnis PGN sehingga akan berdampak positif di hulu migas, industri dan perseroan itu sendiri.
Ia mencontohkan saat ini, PGN membeli gas hanya sekitar lima dolar AS per MMBTU, tapi menjualnya hingga US$10-11 per MMBTU. Padahal berdasarkan perhitungannya, jika PGN sebagai "transporter" maka harga jual gas PGN ke industri hanya US$7-8 per MMBTU.
"Selisihnya terlalu tinggi. Akibatnya, bisnis hulu migas tidak berkembang dan industri pun menjadi tidak kompetitif," ujarnya.
Seperti diketahui sejak 15 Mei 2012, PGN menaikkan harga gas untuk pelanggan industri di Banten, Jabar, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan dari 6,9 ke 10,2 dolar per MMBTU. Hal ini disebabkan harga beli PGN dari produsen gas juga naik dari sekitar 2 ke 5,5-5,6 dolar per MMBTU per 1 April 2012.
Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Legowo mengatakan Kementerian ESDM saat ini sedang mengevaluasi harga jual gas PGN ke sektor industri. Evaluasi ini berdasarkan permintaan kalangan industri yang menilai harga jual gas PGN terlalu tinggi.
"Sekarang ini sedang kita tinjau ulang harga yang pas untuk industri. Target saya akhir Juni ini sudah diketahui," kata Evita. (eh)
(source:Vivanews170612)
"Pemerintah harus mereposisi PGN hanya fokus sebagai 'transporter' gas," katanya di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012.
Seperti tercantum dalam pasal 19 Permen ESDM 19/2009 menyebutkan badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki atau dikuasainya.
Dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimilikinya, maka wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga gas bumi melalui pipa.
Ia menjelaskan posisi PGN saat ini tidak konsisten dengan UU Migas yang mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir. Meski PGN tidak bergerak di hulu, namun dengan beli atau 'kulakan' gas lantas dijual lagi, sudah mendekati praktek merangkap dari hulu hingga hilir.
"Saat ini, PGN mengalirkan gas miliknya melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat (South Sumatra-West Java) yang juga dikuasainya. Ini melanggar Permen ESDM tersebut karena PGN seharusnya sebagai transporter hanya mengutip ongkos angkut (toll fee) gas milik KKKS kepada konsumen," katanya.
Hal ini, lanjutnya, berdampak negatif baik di hulu migas dan industri. Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah mereposisi bisnis PGN sehingga akan berdampak positif di hulu migas, industri dan perseroan itu sendiri.
Ia mencontohkan saat ini, PGN membeli gas hanya sekitar lima dolar AS per MMBTU, tapi menjualnya hingga US$10-11 per MMBTU. Padahal berdasarkan perhitungannya, jika PGN sebagai "transporter" maka harga jual gas PGN ke industri hanya US$7-8 per MMBTU.
"Selisihnya terlalu tinggi. Akibatnya, bisnis hulu migas tidak berkembang dan industri pun menjadi tidak kompetitif," ujarnya.
Seperti diketahui sejak 15 Mei 2012, PGN menaikkan harga gas untuk pelanggan industri di Banten, Jabar, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan dari 6,9 ke 10,2 dolar per MMBTU. Hal ini disebabkan harga beli PGN dari produsen gas juga naik dari sekitar 2 ke 5,5-5,6 dolar per MMBTU per 1 April 2012.
Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Legowo mengatakan Kementerian ESDM saat ini sedang mengevaluasi harga jual gas PGN ke sektor industri. Evaluasi ini berdasarkan permintaan kalangan industri yang menilai harga jual gas PGN terlalu tinggi.
"Sekarang ini sedang kita tinjau ulang harga yang pas untuk industri. Target saya akhir Juni ini sudah diketahui," kata Evita. (eh)
(source:Vivanews170612)
0 comments:
Posting Komentar
Maav apabila belum sempat membalas...